Jumat, 13 Maret 2009

Relevansi Akhlak dalam Kehidupan Modern

Oleh: iful
Abstraksi
Dizaman modern ini, berjalan beriringan dengan semaraknya globalisasi dan kapitalisme global, ketimpangan sosial pun semakin kentara. Kemodernan yang menuntut rasa individualitas, yang akhirnya menyebabkan rasa acuh pada problem-problem sosial . Hal ini, menyebabkan adanya kecemburuan sosial yang berimplikasi pada tindakan kriminal. Dan tidak hanya itu saja yang menjadikan orang untuk melakukan tindak kriminal. Dilihat melalui kacamata akhlak Islam, tindakkan kriminalitas ialah tindakan yang timbul karena adanya penyakit jiwa pada diri manusia, penyakit yang seperti apakah itu?
Memang terlihat aneh dan lucu, ketika dua hal yang memiliki epistemologi yang berbeda—sisi yang berbeda adalah ketika kita berbicara modern yang cenderung menggunakan rasional dan fakta empiris dengan akhlak Islam di mana di dalamnya berbicara tentang jiwa manusia (bersifat metafisik) yang dipadukan dengan sumber-sumber otoritatif islam, yakni al-quran dan sunah—mencoba disatukan. Dalam tulisan ini, saya mencoba membangun argumentasi tentang relevansi akhlak Islam dalam kehidupan modern.

Apa Itu Modern?
Sering sekali kita dengar Istilah modern? Namun, tidak banyak yang mengerti apa itu maksud dari modern. Belakangan ini, term modern terus berkembang seperti; wanita modern, busana modern, kerudung modern, gaya modern, filsafat modern hingga sampai pada postmodern. Kecenderungan manusia yang mulai menggunakan rasional, sering dijadikan identifikasi bahwa itulah awal mula adanya term yang disebut dengan "modern". Dalam beberapa forum diskusi, sering digunakan pula definisi dari modern adalah sebuah pola hidup yang cenderung dengan materealisme dan rasionalisme yang cenderung menolak hal yang metafisis. Dan ada pula yang mendefinikan bahwa kehidupan modern adalah kehidupan sekarang ini atau hal yang berkaitan dengan hal kontemporer yang berlawanan dengan kuno. Saya lebih setuju dengan definisi yang pertama, karena secara historis kita bisa lihat lahirnya sebuah term "modern" ini, muncul sekitar enam belasan yang tandai munculnya adalah pencerahan eropa yang dikenal dengan aufklarung, yang ditandai dengan lahirnya aliran rasionalisme dan empirisme, yang kemudian melahirkan filsafat Modern.
Idealisme filsafat modern seolah muncul untuk menggugat doktrin gereja yang membelenggu eksistensi manusia. Pada masa itulah mulai muncul penemuan-penemuan yang bisa dikatakan baru, seperti Isaac Newton, Charles Darwin, dan Albert Einstein yang meruntuhkan paradigma gereja konservatif. Akibatnya, dogma-dagma agama (Kristen) mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat dan mereka mulai tidak percaya dengan agama yang bersifat abstrak dan penuh dengan dogma-dogma. Pascakrisis kepercayaan terhadap gereja, muncul beberapa filosof dari mahzab rasionalisme dan empirisme yang mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan, antara lain; Rene Descartes, Immanuel Kant, David Hume, Thomas Hobbes, John Locke, Hegel, dan sebagainya. Dari sinilah sejarah munculnya term "modern".
Kenapa tidak setuju dengan definisi yang kedua? Karena menurut saya pada definisi yang kedua terdapat ambiguitas tentang pengertian "modern", karena kalau kita melihat berdasar definisinya, berarti pada setiap masa pernah mengalami apa yang disebut dengan "modern", lalu apa yang disebut dengan kuno? dan berarti yang modern pun akan mengalami kuno. Karena menurut saya, definisi yang pertama lebih tepat dengan fenomena yang ada.
AKHLAK[1]
Begitu banyak term yang memiliki persamaan arti dengan term akhlak. Secara terminologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab, ia adalah bentuk jama’ dari Khulq yang berarti karakter dan sifat, apakah itu akhlak yang baik seperti pemberani, jujur, berjiwa sosial, dsb. Atau pun akhlak yang buruk seperti pembohong, pengecut, pemalu, dsb.[2] Mengenai definisi ilmu akhlak sendiri, dari sekian banyak definisi tentang ilmu akhlak saya lebih setuju dengan definisi yang dipakai Julian Bagini dalam buku the key of philosophy, karena definisi ini lebih mengena pada akar kata akhlak tadi yang telah saya sebut di atas, bahwa ilmu akhlak atau akhlak adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang should do or should not do berkenaan dengan perilaku manusia. Karena dalam definisi lain ada yang menyatakan bahwa akhlak adalah pengetahuan tentang tradisi, adat istiadat dan sifat-sifat manusiawi., definisi ini diargumentasikan dengan merujuk bahasa inggris pada ethic dan moralilty yang digunakan untuk mewakili kata akhlak, kata ethic berakarkata dari bahasa Yunani ethos yang berarti karakter. Ada pun kata morality berakarkata dari bahasa Latin, Mores, yang berarti adat dan tradisi[3]. Saya melihat definisi kuranglah tepat, karena pengertian yang demikian menjadi bagian yang masuk dalam kajian ilmu akhlak bukan mewakili secara universal apa itu ilmu akhlak sendiri, dan pengertian ini hanyalah mewakili bagian partikular dari ilmu akhlak mengenai egoisme psikologis dan egoisme etis.
Sejauh penelitian para ahli bahasa Arab, kata khulq seakar kata dengan kata khalq, walaupun dia memiliki sisi yang berbeda, ketika menggunakan kata khulq, tendensinya adalah karakter (yang bersifat batiniah)pada manusia, sedangkan kata khalq, tendesinya lebih bersifat fisikal (yang bersifat lahiriah) pada manusia.[4]
Sebagai sebuah istilah yang sering dipakai, akhlak digunakan secara beragam oleh para ulama akhlak dan para pemikir, sehingga memiliki arti yang berbeda-beda. Beberapa arti dari istilah akhlak adalah sebagai berikut;
 Arti akhlak secara umum yang sering digunakan para ulama akhlak muslim adalah sifat-sifat yang melekat pada jiwa manusia[5]
 Sebagian ulama akhlak Islam mendefinisikan akhlak dengan; sifat batin yang menyebabkan kemunculan tindakan-tindakan yang baik atau buruk, apakah itu terpatri kuat atau tidak pada jiwa manusia, ataukah perlu pertimbangan pikiran.
 Ada pula yang mendefinisikan bahwasannya kata akhlak hanya mewakili tindakkan yang baik, sedang yang buruk adalah ammoral.
Dari berbagai pendefinisiian akhlak menurut versi masing-masing yang berkepentingan dalam pendefinisian itu[6], maka dari itu, muncullah dua mahzab besar dalam filsafat moral yakni relativisme dan absolutisme yang kemudian mengalami penurunan ke dalam beberapa bagian egoisme, yang di dalamnya juga mengalami sebuah penurunan menjadi egoisme etis dan egoisme psikologi, utilitarianisme yang merupakan turunan dari absolutisme. Naraqi, membagi ilmu akhlak menjadi tiga tema besar.[7] Pertama, akhlak diskriptif (Ethics Descriptive) ialah studi tentang akhlak yang berlaku pada setiap kelompok atau masyarakat. Pada umumnya, akhlak deskriptif tidak membahas nilai benar atau salahnya sebuah tindakkan masyarakat, studi ini biasa dilakukan para ahli psikologi, sosiologi, maupun antropologi.[8] Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode empiris dan tekstual, tanpa penggunaan rasio di dalamnya.
Satu lagi yang ingin saya tambahkan dalam berbagai macam penyajian definisi maupun arti akhlak, bahwasannya dalam mahzab filsafat moral, aliran voluntarisme rasional, menganggap bahwa sebuah tindakan bisa dijustifikasi sebagai tindakan moral, jika di dalamnya terdapat kesadaran manusia dan dalam posisi bebas, bukannya terpaksa.[9] Pendapat ini seolah berbanding terbalik dengan pengertian sebagian ulama akhlak yang meyakini bahwa tindakan akhlak itu bersifat ekspresif tanpa ada campur tangan rasio di dalamnya. Lalu, apa itu akhlak Islam?
Dalam kajian yang lebih khusus ini—mengenai akhlak Islam__, saya terinspirasi setidaknya dengan pendefinisian umum mengenai filosof Muslim yang pernah saya baca, ialah para filosof Islam yang mengunakan sumber-sumber otoritatif Islam sebagai alat inspiratif dalam berfilsafatnya.[10] Maka akhlak Islam ialah sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang perilaku manusia, yang merujuk pada sumber otoritatif Islam yakni al-Quran dan sunah. Saya sendiri melihat akhlak Islam dalam konteks filsafat moral, bahwasannya akhlak Islam berada di posisi moderat antara dua mahzab besar dalam filsafat moral, yakni absolutisme dan relativisme. Karena disamping masih terdapat ego—mewakili mahzab filsafat moral, egoisme, yang merupakan turunan dari relativisme__yang melekat didalamnya juga terdapat nilai-nilai moral yang bersifat universal—yang mewakili mahzab filsafat moral absolutisme.
Problem Sosial Merupakan Efek dari Penyakit Jiwa.
Di dalam dunia modern sering kali kita temukan beberapa problem yang menurut saya ditimbulkan oleh kerusakan atau penyakit jiwa, antara lain; kriminalitas, egoisme, ghadab, kekerasan, dendam, sikap fanatik, riya', berggunjing, dsb. Penyakit-penyakit tersebut di atas merupakan merupakan penyakit yang biasa timbul dari pola hidup modern. Beranjak dari problem ketimpangan sosial yang merupakan aksident dari sifat egois, maka timbullah kriminalitas. Dari kriminalitas menimbulkan penyakit jiwa yakni ghadab dan berkembang menjadikan dendam, dan berlanjut pada .
Rasional yang selalu diagungkan dalam dunia modern ini, ternyata tidak bisa selamanya dijadikan sebagai patokan sebuah kebenaran. Karena, di dalam akal terdapat pelbagai bentuk kesesatan yang bisa menyebabkan kerusakan pada jiwa seseorang? Di manakah kerusakan itu? Akal yang selalu di agungkan ini memiliki kelamahan, antara lain;
1. kebodohan sederhana, kebeodohan sederhana ini timbul karena kesesatan berpikir manusia dalam menyusun proposisi-proposisi.
2. kebodohan majemuk, kebodohan ini maksudnya sangat jelas sekali karena kebodohan ini dikarenakan ketidak mauan belajar seseorang.
3. kebingungan dan keraguan.
4. godaan setan.
5. kebohongan dan penipuan.[11]
Lalu, dimanakah posisi akhlak islam dalam menjawab problem dalam masyarakat modern yang berakar pada ketimpangan sosial? Di dalam pembahasan akhlak, seperti yang tadi telah saya jelaskan di atas, mengkaji tentang karakter manusia. Karakter manusia ini, berada pada jiwa manusia. Ketika jiwa manusia sudah rusak[12], maka akan menimbulkan kesenjangan sosial, yang lebih disebabkan oleh egoisme yang menimbulkan rasa individualitas. Penyakit ini egoisme yang ditimbulkan oleh syahwat manusia, akan memancing lahirnya peyakit lainnya yang telah tadi saya sebut di atas. Dan dalam kajian akhlak Islam, ia mampu menjawab problem sosial tersebut di atas dengan memberi penangkar dari penyakit-penakit jiwa yang ada. Sehingga terdapat relevansi akhlak Islam terhadap kehidupan modern.
Sebagai seorang muslim, saya sependapat dengan tafsir Fazlur Rahman, sebagai pemikir muslim yang intens dalam kajian hermeneutik, dalam menjawab problem masyrakat dengan tafsirnya. Rahman membuat metode tafsir yang dikenal dengan gerakan-ganda hingga ia mengeluarkan statement;
“…semangat dasar dari al-Qur’an adalah semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah ‘perintah’ Allah. Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral: ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan Islam dan implementasinya dalam kehidupan disebut ibadah atau ‘pengabdian kepada Allah’. Karena penekanan al-Qur’an terhadap hukum morallah hingga Allah dalam al-Qur’an tampak bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan keadilan. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui."[13]

KESIMPULAN
Melihat fenomena-fenomena sosial yang tidak harmonis ini, pastilah ada sesuatu yang salah di dalamnya. Sebagai seorang muslim, ketimpangan sosial di sini lebih saya khususkan pada masyarakat muslim, yang jelas terdapat sistem sosial didalam al-Qur'an misalnya zakat dan shadaqah yang mencoba menyetarakan kehidupan sosial, karena dalam sebuah ayat al-Qur'an yang berbicara tentang, "di dalam harta/kekayaan kalian terdapat hak-hak anak yatim dan orang miskin." Ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada, menurut yang tadi samapaikan di atas lebih disebabkan adanya kerusakan atau penyakit pada jiwa seseorang yang berimplikasi pada kehidupan sosial dizaman modern ini. Untuk mengatasinya, akhlak Islam mencoba menjawabnya dengan memberikan obat dari penyakit-penyakit jiwa yang ada pada zaman modern ini. Sehingga, jelas menurut saya, bahwasannya akhlak Islam dizaman modern dalam melihat ketimmpangan sosial yang ada, jadi dizaman modern ini masih diperlukan adanya ilmu akhlak guna mengatasi problem sosial.
Wallahu a'lam bi shawab.




________________________________________
[1] Pada dasarnnya antara term etika, filsafat moral, dan akhlak tidaklah berbeda, karena ini hanyalah perbedaan dalam sisi kebahasaan saja. Dan dalam penulisan ini saya menggunakan kata akhlak. Penggunaan kata akhlak ini lebih saya pilih daripada penggunaan kata etika yang berasal dari latin, karena rujukan Islam bersumber dari bahasa arab sendiri.
[2] Hans wehr. The dictionary of Arabic modern.
[3] Ethic and morality, dalam Encyclopedia of Ethics, vol. 1, hal. 329
[4] Taqi mishbah Yazdi, Falsafah ye Akhlaq. Al-huda: Jakarta. 2006, cet. 1. hlm, 1
[5] Ibid. hlm 1-2.
[6] Maksud saya, ketika seseorang mendefinisikan sesuatu itu demikian, maka ia berkepentingan pada definisi itu, atau memiliki pemahaman atau pandangan berikutnya dengan definisi yang dibuatnya.
[7] Muhammad Mahdi bin Abi Szar an-Naraqi, jami' as-saadat,terjemahan dalam bahasa Indonesia; Penghimpun kebahagiaan. Hal 1-9
[8] Dalam sebuah kajian metode pendekatan agama melalui psikologi, sosiologi, maupun antropologi, untuk mendapatkan hasil yang objektif terhadap sebuah objek yang dikaji, kita harus membuang asumsi-asumsi awal mengenai objek yang dikaji, sampai mencoba menghilangkan budaya yang dimiliki oleh pengkaji agar tidak ada justifikasi nilai baik buruk, sehingga tidak menimbulkan hasil yang subjektif. Dan tindakkan lebihlanjutnya, mencoba mencari benang merah atau kesamaan jika ada orang yang pernah melakukan kajian itu, sehingga tercipta hasil yang intra subjektif. Lihat, Ngabdullah Akrom dalam makalah presentasi ICAS-Jakarta dalam mata kuliah metodologi studi Islam I, Metode Pendekatan Agama Melalui Kajian Antropologi. 12 desember 2007, makalah tidak dipublikasikan.
[9] Komarudin hidayat, Etika dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern Studi Kasus di Turki, dalam buku; Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. By; Budhy Munawar-Rachman. Yayasan Paramadina: Jakarta. 2003.
[10] Lihat, Haidar bagir dalam Buku Saku Filsafat Islam. Mizan: Jakarta 2003. atau pun dalam buku Mulyadhi Kartanagara, Gerbang Kearifan.
[11] Naraqi, Jami' as-Saadat. hlm. 48
[12] Kerusakan di sini bahwasannya jiwa manusia bisa dirusakkan oleh tiga penyakit, setidaknya ada tiga macam jenis penyakti pada jiwa; penyakit dari akal, penyakit yang ditimbulkan dari ghadab, dan penyakit jiwa yang ditimbulkan syahwat atau yang lebih terkenal dalam bahasa Indonesia dengan nafsu.
[13] Rahman, Fazlur. Islam. Diterj. dari Islam (edisi Anchor Books, 1968; dan edisi The Chicago University Press [bab Epilogue], 1979) oleh Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka. 2003

3 komentar:

  1. rakhmatan al-'alamin kok plagiat.
    hai kawan ini tulisan, aku bikin susah-susah kenapa malah kau ganti pake namamu?
    liat ne postinganku.
    http://arkoun.multiply.com/journal/item/52/Relevansi_Akhlak_dalam_Kehidupan_Modern

    gimana manusia bisa maju kalau semua hanya suka plagiat dan klaim. hargai doung karya orang.ok?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai kawan !
      kenapa langsung tertuju kepada blog saya.
      lebih baik membuat karya daripada membuat barang tiruan

      Hapus
    2. Iya bro, mending bikin blog sendiri. Tapi kalo lu nulis yang lu posting itu tulisan gw yang lu copas ya sama aja lu sama yang di atas? Tahu sampah?

      Hapus